BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang Masalah
Dalam berinteraksi dengan sesamanya,
manusia tidak dapat dipisahkan dari bahasa, bahasa memegang berperanan penting
sebagai sarana komunikasi. Dalam proses komunikasi tersebut sangat mungkin para
penutur memakai bahasa yang lebih dari satu, misalnya, seseorang yang
berkebangsaan Indonesia ketika berbicara dengan turis asing menggunakan bahasa
Inggris tetapi ketika ada temannya sesama orang Indonesia dia berganti
menggunakan bahasa Indonesia. Kondisi seperti ini biasanya terjadi pada
masyarakat bilingual atau multilingual, kontak yang intensif antara dua bahasa
atau lebih di dalam situasi yang bilingual atau multilingual seperti dalam
masyarakat Indonesia tersebut mengakibatkan timbulnya fenomena bahasa, yaitu
alih kode dan campur kode.
Alih kode dan campur kode jika dikaji
lebih mendalam dapat kita ketahui bahwa alih kode dan campur kode merupakan
salah satu kajian dari sosiolinguistik. Alih kode adalah gejala peralihan
bahasa karena berubahnya situasi, sedangkan campur kode adalah suatu keadaan
berbahasa dimana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa
dalam peristiwa tutur. Masalah yang perlu dipecahkan dalam hal ini adalah
sulitnya membedakan antara alih kode dengan campur kode dalam masyarakat tutur.
1.2.Rumusan
Masalah
- Apa yang Dimaksud Dengan Alih Kode?
- Apa yang Dimaksud Dengan Campur Kode?
- Apa Perbedaan Antara Alik Kode Dengan Campur Kode?
1.3.Tujuan
Penulisan Makalah
- Untuk Mengetahui Apa yang Dimaksud Dengan Alih Kode.
- Untuk Mengetahui Apa yang Dimaksud Dengan Campur Kode.
- Untuk Mengetahui Perbedaan Antara Alih Kode Dengan Campur Kode.
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Alih Kode
Appel
(1976:79) mendevinisikan alih kode itu sebagai “ Gejala peralihan pemakaian
bahasa karena berubahnya situasi”. Berbeda dengan Appel yang mengatakan alih
kode itu terjadi antar bahasa, maka Hymes (1875: 103) menyatakan alih kode itu
bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam
atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. lengkapnya Hymes mengatakan “ code switching has become a common term
for alternate us for two or more language, varietities of language, or even
speech styles”.
Ada
beberapa penyebab terjadinya alih kode, maka harus kembali pada pokok persoalan
sosiolinguistik seperti yang dikemukakan Fishman (1976:15), yaitu “saiapa
berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan an dengan tujuan apa”. Dalam
berbagai kepustakaan linguistik secara umum penyebab alih kode itu disebutkan
antara lain adalah:
- Pembicara atau Penutur
Seorang pembicara atau penutur
seringkali melakukan alih kode untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat dari
tindakanya. Alih kode untuk memperoleh keuntungan ini biasanya dilakukan oleh
penutur yang dalam peristiwa tutur itu mengharapkan bantuan lawan tuturnya.
- Pendengar atau Lawan Bicara
Lawan bicara atau lawan tutur dapat
menyebabkan terjadinya alih kode, misalnya karena si penutur ingin mengimbangi
kemampuan berbahasa si lawan tutur. Dalam hal ini biasanya kemampuan berbahasa
si lawan tutur kurang atau agak kurang karena memang mungkin bukan bahasa
pertamanaya. Kalau si lawan tutur itu berlatar belakang bahasa yang sama dengan
penutur, maka alih kode yang terjadi hanya berupa peralihan varian (baik
regional maupun sosial), ragam, gaya, atau register.
- Perubahan Situasi dengan Hadirnya Orang Ke Tiga
Status orang ke tiga dalam alih kode
juga menentukan bahasa atau variasi yang harus digunakan. Contoh, Beberapa
orang mahasiswa sedang duduk-duduk di muka ruang kuliah sambil bercakap-cakap
dengan menggunakan bahasa santai. Tiba-tiba datang seorang dosen wanita dan
turut berbicara, maka kini para mahasiswa itu beralih kode dengan menggunakan
bahasa Indonesia ragam formal. Mengapa mereka tidak terus menggunakan ragam
santai?, Sebab kehadiran orang ke tiga yang bersetatus dosen mengharuskan
mereka untuk menggunakan ragam formal. Kecuali kalau dosen ini memulai dengan
ragam santai.
- Perubahan dari Formal ke Informal atau Sebaliknya
Perubahan situasi bicara dapat
menyebabkan terjadinya alih kode. Pada ilustrasi di atas, sebelum perkuliahan dimulai
situasinya tidak formal, tetapi begitu kuliah dimulai situasi menjadi formal,
maka terjadi alih kode. Tadinya digunakan bahasa Indonesia ragam santai lalu
berubah menjadi ragam formal.
- Berubahnya Topik Pembicaraan
Berubahnya
topik pembicaraan dapat juga menyebabkan terjadinya alih kode. Contoh
percakapan di bawah ini akan sedikit membantu pemahaman tentang alih kode yang
terjadi karena berubahnya topik pembicaraan.
Buk Inem : Selamat pagi buk Ijah?
Menurut ibu mau ada acara apa di rumah Anita?
Menurut ibu mau ada acara apa di rumah Anita?
Buk Ijah : Pagi, eh buk Inem, acara mendoa
untuk almarhum ayah angkat Anita Buk.
Buk
Inem : Oh ayah angkat Anita, sing
jare wong kampung ninggal gara-gara digebuk wong sak RT pas konangan maling honda ya Buk? (
oh ayah angkat Anita, yang kata orang sekampung meninggal karena di pukulin
orang satu Rt waktu mencuri sepeda motor ya Bu?)
Buk
Ijah : Eh iya Buk, lah deneng
sampean ngerti Buk?(oh iya Buk, ko tau Buk?)
Buk
Inem : Siapa sih Buk sing ora
ngerti. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosa beliau ya Buk.
Buk
Ijah : Aamiin.., mudah-mudahan
saja Buk, Allah maha pengampun.
Pada
contoh percakapan di atas, dapat dilihat bahwa ketika topiknya tentang mendoa
maka percakapan itu berlangsung dalam bahasa Indonesia, tetapi ketika
membicarakan pribadi orang yang didoakan terjadi alih kode dari bahasa
Indonesia ke bahasa Jawa.
Soewito
membedakan adanya dua macamalihh kode, yaitu alih kode intern dan alih kode
ekstern. Alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antar bahasa
sendiri, seperti bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya. Sedangkan
alih kode ekstern adalah alih kode yang terjadi antara bahasa sendiri dengan
bahasa Asing.
2.2. Campur Kode
Pembicaraan
mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode.
Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat yang bilingual ini memiliki
kesamaan yang besar, sehingga seringkali sukar dibedakan. Sesuai dengan
pendapat Hill dan Hill (1980: 122) dalam penelitian mereka mengenai masyarakat
bilingual bahasa Sepanyol dan Nahuali di kelompok Indian Meksiko, mengatakan
bahwa tidak ada harapan untuk dapat membedakan antara alih kode dan campur
kode.
Kesamaan
yang ada antara alih kode dan campur kode adalah digunakanya dua bahasa atau
lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Perbedaanya yaitu, dalam
alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa
yang digunakan masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan
dengan sadar, dan sengaja dilakukan dengan sebab-sebab tertentu. Sedangkan
dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan
memiliki fungsi dan keotonomianya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa
serpihan-serpihan saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode.
Seorang
penutur misalnya, dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan
serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode.
Akibatnya, akan muncul satu ragam bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan (kalau
bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa) atau bahasa Indonesianya yang
kesunda-sundaan (kalau bahasa daerahnya aalah bahasa Sunda). Thelender
(1976:103) mencoba menjelaskan perbedan alih kode dan campur kode, katanya bila
di dalam satu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa
ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode, tetapi
apabila di dalam suatu peristiwa tutur kalusa-klausa atau frase-frase yang
digunakan terdiri dari klausa dan frase sampuran, dan masing-masing klausa atau
frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang
terjadi adalah campur kode bukan alih kode.
Faslod
(1984) menwarkan kriteria gramatika untuk membedakan campur kode dari alih
kode. Kalu seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia
telah melakukan campur kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas memiliki
struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur
gramatika bahasa lain maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.
Tawaran
Faslod (1984) yang sejalan dengan pendapat Thelander (1976) tampaknya
memang merupakan jalan terbaik sampai
saat ini untuk membicarakan alih kode dan campur kode. Antara keduanya sukar di
cari apa perbedaanya yang pasti, kalau kita bersi keras berpegang pada konsep
alih kode dan campur kode seperti yang telah dikemukakan di atas.
BAB 3 PENUTUP
3.1.Simpulan
- Alih kode atau adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur. Misalnya, penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa Inggris.
- Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa dalam masyarakat multilingual.
- Dalam alih kode masing-masing bahasa cenderung masih mendukung fungsi masing-masing dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya.
- Alih kode merupakan gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan peran dan situasi.
- Campur kode adalah suatu keadaan berbahasa dimana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak tutur.
- Dalam campur kode penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu.
- Campur kode merupakan penggunaan dua bahasa dalam satu kalimat atau tindak tutur secara sadar.
3.2.
Saran
Kami selaku penyusun makalah ini
menyarankan kepada pembaca agar memahami apa yang dimaksud dengan alih kode dan
campur kode, karena alih kode merupakan salah satu ketergantungan bahasa dalam masyarakat multilingual seperti
masyarakat di negara kita. Sedangkan jika kita memahami campur kode maka kita
tidak akan melakukan penggunaan bahasa kita dengan bahasa negara lain. selain
memahami alih kode dan campur kode kami juga menyarankan kepada pembaca agar
memahami perbedaan antara alih kode dan campur kode sebab perbedaan antara
keduanya sulit untuk diketahui kecuali jika kita benar-benar memahami konsep
mengenai alih kode dan campur kode.
Daftar Pustaka
Chaer,
Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik
Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka
Cipta
Ibrahim,
Abdul Syukur dan Suparno . 2003. “Sosiolinguistik”. Jakarta: Universitas
Terbuka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar