Sesat
Oleh Ekky Gurin
Andika
Hujan hari ini
terlalu pagi
Melecehkan jalan
setapak di pesisir pantai
Meriuhkan suasana
kelam yang sempat datang
Tumpah melimpah
bergenang sebatas mata kaki
Hajat menyantap
dalam angan bocah pupuslah sudah
Memang tak
terkayuh langkah itu lagi
Gontai membopong
badan yang mulai kuyup
Bersengokol di
bibir sembilu telah membiru
Membentang telapak
menumpang iba para pembantu
Mengapa ia tak
hendak pergi atau tersesat juga di bumi
Seperti aku
Sudah lama
memilih
Mati tak pula menuhankan
diri
Pergi sajalah
Sebelum petang
menyingsing malu
Bersembunyi menyedap-nyedap
bias yang samar
Menampung secanang
logam di celah tingkap para saudagar
Atau sisa
pewaris, memendap di kerapuhan saku yang pengap
Sebab engkau
begitu
Sebab pula aku
begini
Hingga kita sama
tak peduli
Analisis
gaya bahasa dalam puisi “Sesat” karya Ekky Gurin Andika
Majas atau gaya bahasa adalah pemanfaatan
kekayaan bahasa
dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis. Setiap
sastrawan selalu menggunakan gaya bahasa yang berbeda dengan sastrawan lain
dalam menyampaikan maksud atau tujuan melalui karyanya baik berupa prosa fiksi
mau pun drama. Berikut analisis gaya bahasa dalam puisi “Sesat” karya Ekky
Gurin Andika.
Gaya
bahasa yang terdapat dalam puisi “Sesat” karya Ekky Gurin andika yaitu”
- Gaya Bahasa Personifikasi.
Gaya bahasa atau majas personifikasi
adalah gaya bahasa yang mengumpamakan benda mati sebagai makhluk hidup. Gaya bahasa
ini ditunjukan pada bait pertama puisi “Sesat” yaitu
Hujan
hari ini terlalu pagi
Melecehkan
jalan setapak di pesisir pantai
Meriuhkan
suasana kelam yang sempat datang
Tumpah
melimpah bergenang sebatas mata kaki
Pada
bait pertama ini menyatakan Hujan seolah-olah
hidup dan berperan sebagai penghancur yang datang terlalu cepat pada baris
pertama hujan hari ini terlalu pagi,
diperjelas dalam baris kedua Melecehkan
jalan setapak di pesisir pantai yang
menyatakan Hujan merusak sebidang jalan
yang berpasir di pantai. Baris ke tiga meriuhkan
suasana kelam yang sempat datang menjelaskan
Hujan membuat suasana suram dan gelap
menjadi sangat ramai. Baris ke empat tumpah melimpah bergenang sebatas mata kaki menjelaskan
bahwa Hujan menyebabkan datang
bencana (banjir), dan baris ke lima hajat menyantap dalam angan bocah pupuslah
sudah menjelaskan bahwa banjir menyebabkan anak-anak kehilangan harapan
untuk meraih keinginanya.
Kesimpulan
pada bait pertama puisi “Sesat” karsa Ekky Gurin Andika adalah menggunakan gaya
bahasa personifikasi dengan Hujan yang
diperankan sebagai manusia yang menghancurkan alam dan harapan anak-anak.
Gaya bahasa personifikasi juga terdapat
pada bait ke empat baris pertama dan ke dua. Pada baris pertama bait ke tiga
ini yang dianggap sebagai manusia adalah
petang
yang menyingsing atau menggulung
atau menutup rasa malu. Pada baris ke dua bait empat yang dianggap sebagai
manusia adalah bias yang samar mengendap-endap karena bersembunyi.
- Gaya Bahasa kiasmus
Gaya bahasa kiasmus adalah gaya
bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Gaya
bahasa kiasmus dalam puisi “Sesat” ini ditunjukan pada bait ke dua baris satu
Memang tak
terkayuh langkah itu lagi
Pada bait
kedua baris pertama ini menerangkan bahwa seseorang merendahkan dirinya dengan
pernyataan merasa tidak mampu untuk menggapai harapan.
- Gaya Bahasa Hiperbola
Gaya bahasa hiperbola adalah gaya bahasa yang
memberikan pernyataan berlebih-lebihan. Gaya bahasa hiperbola dalam puisi “Sesat”
ditujukan pada bait kedua baris kedua
Gontai membopong
badan yang mulai kuyup
Pada bait
kedua baris kedua tersebut menyatakan hal yang berlebihan yaitu seseorang
lambat atau terhuyung-huyung mengangakat
atau lebih tepatnya menggerakan tubuhnya yang lembab dan basah, hal ini
bertentangan dengan yang sebenarya yaitu seseorang pasti bisa menggerakan
tubunya yang lembab dan basah tanpa harus terhuyung-huyung.
- Gaya Bahasa Tropen
Gaya bahasa tropen adalah gaya bahasa yang menggunakan
kiasan dengan kata atau istilah lain terhadap pekerjaan yang dilakukan
seseorang. Gaya bahasa tropen dalam puisi ini ditunjukan pada bait ke dua baris
tiga dan empat. Baris ke tiga berbunyi
Bersengokol di
bibir sembilu telah membiru
Baris ke tiga
ini menggunakan gaya bahasa tropen berupa kiasan dengan kata bersengokoldi bermakna meringkuk, dibibir sembilu bermakna di tepi yang
tajam atau di ujung tanduk, dan telah
membiru bermakna menjadi legam atau kebiasaan. Jadi pada baik ke dua baris
ke tiga menyatakan seseorang telah terbiasa hidup dalam kepedihan.
Gaya bahasa tropen pada bait ke dua
baris ke empat dan ke lima berbunyi
Membentang telapak
menampung iba para pembantu
Di tandai
dengan kata membentang telapak berarti
meminta, menampung iba para pembantu artinya
menerima belas kasihan orang yang menolong. Jadi pada bait ke dua baris ke
empat menyatakan pekerjaan seseorang sebagai peminta-minta atau pengemis yang
mengharapkan bantuan dari orang lain.
Gaya bahasa tropen juga terdapat pada bait ke empat
baris ke tiga
Menampung secanang
logam di celah tingkap para saudagar
Atau
sisa pewaris, memendap di kerapuhan saku yang pengap
Di tandai
dengan kata menampung yang menegaskan pernyataan pekerjaan seseorang pada
bait terdahulu yaitu seseorang bekerja
sebagai peminta-minta yang menerima uang logam di antara jendela orang-orang
kaya. Dipertegas lagi pada baris kelima yaitu menerima uang logam dari ahli waris
dari orang kaya tersebut.
- Gaya Bahasa Polisidenton
Gaya bahasa polisidenton adalah gaya bahasa yang
menyebutkan secara berturut-turut dengan menggunakan kata penghubung. Pada puisi
“Sesat” ini gaya bahasa polisidenton ditunjukan pada bait ke tiga baris pertama
berbunyi
berbunyi
Mengapa ia
tak hendak pergi atau tersesat juga di bumi
Pada baris
ke tiga ini ditandai dengan kata penghubung atau.
baris ini merupakan dua pertanyaan yang digabungkan dengan kata penghubung atau.
- Gaya Bahasa Anastrof
Gaya bahasa anastrof adalah gaya bahasa yang dalam
pengungkapannya predikat kalimat mendahului subejeknya karena lebih diutamakan.
Pada puisi “Sesat” ini ditunjukan pada bait ke tiga baris dua sampai dengan
baris ke lima.
Mengapa ia tak hendak pergi atau
tersesat juga di bumi
Seperti aku
Sudah lama memilih
Mati tak pula menuhankan diri
Pergi sajalah
Pada baris
dua merupakan kalimat yang hanya terdiri atas unsur peredikat dari golongan
kata preposisi+nomina (seperti+aku) atau
frasa nomina subordinatif. Pada baris ke tiga terdiri atas unsur predikat dari
golongan kata adverbia+verbal (sudah lama+memilih) atau frase verbal subordinatif.
Sedangkan pada baris ke empat terdiri atas unsur predikat+pelengkap (mati+ tak
pula menuhankan diri), dan pada baris ke lima kanya terdiri atas unsur predikat
golongan kata verbal.
7. Gaya Bahasa Tautotes
Gaya bahasa
tautotes adalah gaya bahasa berupa repetisi atas sebuah kata berulang-ulang
dalam sebuah konstruksi. Gaya bahasa tautotes pada puisi “Sesat” ini ditunjukan
pada bait ke empat baris ke lima sampai dengan ke tujuh di tandai dengan
pengulangan kata sebab, yaitu
Sebab
engkau begitu
Sebab
pula aku begini
Hingga
kita sama tak peduli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar